Ramadhan tahun ini sungguh berbeda dengan ramadhan sebelumnya.
Kau tahu, lebaran sudah didepan mata dan sebentar lagi menyapa. Aku benar-benar merindukan sosoknya, sosok yang begitu menyayangi anaknya dan rela berkorban demi putri tercinta.
Ah Bapak, sungguh tak sanggup ku tahan air mata ini sekuat apapun ku mencobanya
padahal aku sudah berjanji aku tak akan menangis lagi, aku tak ingin menjadi anak
yang lemah tapi apa daya inilah aku, putrimu.
Bapak, kau tahu betapa aku dan mama begitu merindukanmu, sering ku mendengar isak
dari balik pintu, aku tahu bahwa beliau pun juga sama sepertiku, menangis dalam sepi
tak ingin ada yang tahu dan aku pun pura-pura tak mendengarnya.
Yah kau tentu tahu sifatku sejak dulu, belaga cuek meski sebenarnya peduli tak ingin
orang tahu bahwa aku menyayangi orang-orang disekelilingku, begitulah caraku mencintai.
Tahun-tahun pertama mungkin menjadi masa yang sulit sejak kepergianmu,
aku sedang beradaptasi.
Aneh memang jika pulang kerumah, tak ada suara khas itu, suaramu yang menasehatiku
bahkan kadang mengomel karna kelakuan ajaibku, suara kau yang mensenandungkan
kalam Nya.Tapi pak aku merasa Allah sangat menyayangiku, Allah tahu aku bukan orang yang
mudah untuk kehilangan.
Aku telah dilatih beberapa tahun ini, dimulai sejak aku memutuskan untuk melanjutkan
sekolah menengah atas ke Samarinda tempat yang jauh darimu dan mama itu supaya
aku belajar agar tak selalu menjadi anak yang manja.
Kau masuk rumah sakit terbaring lemah lebih dari 15 hari, itu pun Allah sedang melatihku,
latihan terakhirku mungkin.
Aku mengingat malam sebelum kepergianmu, pada malam itu aku mendapat giliran
menjagamu bergantian dengan mama.
Sungguh malam itu aku merasa kesedihan yang tak bisa ku ungkapkan,
perasaan takut akan kehilangan begitu menghantuiku.
Ku genggam tanganmu yang saat itu sangat panas sekali, begitu kaku dan
tak ada respon sama sekali. Pada saat itu entah kenapa aku teringat perkataan seorang teman,
ia berkata "is, jika terjadi apa-apa sama bapak, sudah ikhlaskah ?", aku ingat saat itu
aku menjawab dengan gelengan kepala menandakan bahwa aku tak siap.
Tapi malam itu aku benar-benar mencoba berdamai dengan takdir,
berkompromi dengan hatiku sendiri. "iis cuma ingin yang terbaik buat bapak"
hanya itu lirihku.
Benar saja esok harinya, Senin 23 Februari 2015, Allah pilihkan yang terbaik menurut Nya.
Yah, kepulanganmu kepada Nya, aku pun masih ingat pada saat itu aku ditelpon oleh mama,
mama bilang aku harus kerumah sakit tapi beliau tidak memberi tahu apa yang sebenarnya
terjadi karna mama tahu aku berkendara dan tidak bisa dibuat panik.
Entah kenapa sesampainya dirumah sakit sepanjangan koridor handphoneku
tak berhenti berdering dan tak satupun ku angkat, aku hanya mempercepat langkahku
dengan lutut gemetar entah kenapa firasatku mengatakan sesuatu dan benar saja
sesampai dipintu ruang bapak dirawat kulihat sudah banyak yang datang,
orang-orang yang kukenal.
Aku terduduk lemas, air mata tak bisa ku bendung, berulang kali ku sebut namamu
siapa tahu kau hanya tertidur sebentar, bukankah biasanya aku yang membangunkanmu
kau pasti bangun mendengar suara putrimu.
Tapi seperti itulah jalan Nya, kau sudah pergi untuk selama-lamanya.
Oh, bapak ... Jasadmu memang sudah pergi tetapi kau akan tetap dihati sampai kapanpun
dan aku akan memenuhi janjiku, janji yang kuucap semasa sehatmu, ketika kau koma
bahkan setelah kepergianmu.
Aku berjanji akan memenuhinya dengan segala daya dan upaya yang kumiliki atas izin Nya,
in syaa Allah.
Semoga Allah ampuni segala dosamu, dilapangkan kuburmu dan diterangi
dengan cahaya kuburmu dan semoga kita sekeluarga kelak bisa berkumpul di Surga Nya.
Aamiin ya rabb.